Hari yang cerah, hari yang kutunggu. Hari dimana pengalaman siap kutorehkan. Hari jadinya aku menjadi siswa smp. Dan sekolahku bukan sekolah biasa, aku akan tinggal di asrama. Mobil yang dikemudikan ayahku mencoba masuk ke gang sekolah baruku. Belum sempat masuk,, ada mobil lain yang hendak keluar. Dan ternyata, hal itu berulang tiga kali.
Perasaanku mulai mencekat ketika terdengar musik heroik menyambut kedatangan siswa baru. Lagu yang belum pernah kudengar, namun aku tahu lagu ini nantinya adalah lagu kebanggannku.
Seolah buyar, kini tiba-tiba aku kehilangan jatidiri ku. Perasaanku tak menentu, hingga hatiku terbelah menjadi 2 bagian. Bagian yang satu merasa senang, namun disisi yang lain memaksaku untuk sedih. Hal itu membuatku sulit untuk menampakkan ekspresi wajah ku. Bagaimana mungkin aku bisa senang, sedangkan aku harus berpisah dengan orang tua? Ataupun sedih padahal sekolah ini adalah sekolah yang aku harapkan?
Tanganku menggerayang saku baju mencari sesuatu. Sesuatu. Buku kecil. Buku ini adalah catatan masa kecilku, semacam buku diary tapi aku tak pernah mau menyebut demikian. Ini adalah buku bertuliskan pengalaman, dan buku ini tak pernah dijual di toko manapun. Karena aku membuatnya sendiri. Menghias cover dan mengumpulkan kertas-kertasnya. Di covernya ku tuliskan sebuah judul “The little Notes,for world.’
Pena kecil kuambil dari lubang atas buku ini. Kulihat ujung penaku bergerak. Melukiskan tinta emas.
“Hari ini adalah hari pertama dimana aku mencampurkan perasaan senang dan sedih pada satu garis. Ayah, Ibu..restui putramu mencari ilmu.”
Kututup kembali buku itu dan bergegas. Kali ini aku telah berada di depan aula sekolah. Kutatap wajah ayah dan ibu ku. Hati nurani ku bertindak. Menyalami orang tua adalah baktiku, dan mencari ilmu adalah kewajibanku.
Semburat awan gelap, seolah mengetahui bagaimana perasaanku. Aku berusaha mendongak ke langit agar air mataku tak tumpah. Namun tetap saja, Newton benar. Gravitasiku itu, membiarkan setetes air mataku membasahi bumi. Allah saksiku ketika hari ini aku berikrar. “Aku akan berusaha mewarnai sekolah ini dengan hal baik yang bisa ak u lakukan. Dan aku tak akan membawa dampak buruk.”
Kembali, air mataku menetes untuk kedua kalinya.
Lamunan ku berakhir ketika seorang pemuda gagah menepuk pundakku, menyapa.
“Siswa baru ya dek?” tanyanya bershabat.
“Iya kak, kenapa?” aku balas bertanya.
Langsung masuk aja dek. Bentar lagi ada brieffing. Oh iya kenalkan Khiyar Radma” sembari mengulurkan tangan.
“Hil “ Jawabku singkat sambil menerima uluran tangannya yang begitu bersahabat.
Kami berbincang panjang lebar. Mulai dari daerah asal, sekolah dasar, hobby, cita-cita,bahkan daerah asal orang tua tak luput dalam perbincangan. Dalam perbincangan itu, kami mendapatkan persamaan dalam capaian nilai akhir ujian nasional sekolah dasar.
Tak sampai disitu, rasa keingintahuannya tentang aku berlanjut hingga pengalaman mengesankan. Ternyata, Kak khiyar mengatakan brieffing segera dimulai hanya basa-basi. Adakala pertemanan dimulai dari basa-basi. Aku terawa dalam hati, tak masuk akal. Tiba-tiba perbincangan kami terhent ketika Kak khiyar dipanggil pemuda seumuranku. Pemuda itu memakai celana fornmal hitam dan kemeja hijau beergaris. Kurasa aku tahu, dia juga anak baru.
Aku mengemasi barang-barangku membawanya ke kelas untuk transit sementara. Aku berjalan menyusuri lorong sempit sementara gang sekolah masih sekitar 30 meter. Tepat diujung gang aku melihat spanduk besar bertulis “Membimbing sepenuh hati, agar sholeh dan berprestasi.”
Hatiku bergetar. Baru kali ini sebuah tulisan mampu menggetarkan hatiku. Itu hanya 3,4,5 dan 6. Oh tidak, ternyata 7. 7 kata yang pernah aku lihat tetapi tidak dengan susunan seindah itu. Begitu menariknya sekolah ini dengan kredo yang tersusun rapi. Aku menarik dasi, melepasnya. Menghilangkan penat yang ada. Aku tersenyum.
Kakiku terus bergerak, namun pikiranku masih tak beringsut dari kata-kata itu. Sadar akan tak punya tujuan, aku harus balik kanan kembali ke aula sekolah . Langkahku semakin cepat ketika aku lupa jalan kembali. Bagaimana aku bisa lupa secepat ini.Tidak. Kurasa aku tadi melihat tiang listrik di depan wartel. Tapi, kenapa yang ada rumah besar ini?
Aku berlari. Gang perumahan ini seperti labirin. Hampor 3 kali aku memutari tempat pembuangan umum ini. Suara decak mikrofon masjid bergemuruh. Suara pun terdengar jelas. Bukan lantunan adzan. Namun ucapan salam, kurasa itu pengumuman orang meninggal seperti di desaku. Apa gunanya hal itu sekarang bagiku disaat aku kehilangan arah?
Aku butuh tenang. Ini baru haru pertamaku. Teringat jelas ikrar pertamaku beberapa waktu lalu. Aku akan berusaha mewarnai sekolah ini dengan hal baik yang bisa aku lakukan. Dan tak akan membawa dampak buruk. Ini kesempatanku dalam bersabar.
Lantunan mikrofon tadi belum juga berlanjut. Aku menghela nafas. Kubersihkan hatiku dan kubuka pikiranku untuk mendengar pengumuman intu.
Tak kusangka. Terdengar jelas dibalik suara orang yang mengumumkan itu, backsound lagu heroik seperti ketika aku dan orang tuaku masuk tadi. Dan ternyata, pengumuman itu untukku, siswa baru. Aku berlari menuju arah sumber suara. Beberapa gang yang tadi aku ragu untuk melewatinya, kini telah aku lewati. Dan tidak lebih dari 20 menit aku telah sampai di depan aula sekolah untuk brieffing.
Sebelum masuk, aku menengok ke belakang. Orang tuaku masih disana. Aku mendekat. Kami berpelukan sebelum mereka mengatakan akan segera pulang. Wajah adikku yang baru lahir seminggu lalu dalam pelukan ibuku, belum terlihat gurat ketampanannya. Ia tersenyum menyeringai. Jujur saja, aku iri ketika seminggu lalu perhatian orang tuaku seolah direbutnya. Tapi pemikiranku kini bukan seperti anak sd, kini aku smp. Dan adikku pantas mendapatkannya. Perhatian orang tua. Aku balas tersenyum dan bercipika-cipiki untuknya.
Mobilku melintas. Dan terdengar suara kecil tangisan adikku. Ibuku yang dari tadi menyembunyikan kesedihannya, lekat-lekat ku ingat wajahnya. Aku kembali mendongak ke langit, namun air mata itu tetap jatuh. Ketiga kalinya. Di hari pertama menjadi siswa smp, aku telah menyumbang 3 tetes air ke dalam bumi. Ikrarku akan kutambah. “Aku tak akan mudah sedih.” Aku belari mantap ke aula.
Acara brieffing itu tak terlalu menarik. Lebih menarik ketika bercerita dengan kak Khiyar daripada acara ini. Tapi dimana kak Khiyar? Bukankah dia wakil ketua osis?
Aku tersenyum getir melihat lawakan para pengurus osis. Namun senyum teman-temanku meyakinkanku. Yang menarik dari brieffing ini adalah wajah-wajah baru, senyum baru, teman-teman baru, guru baru, dan tentu saja ilmu baru. Canda teman-temanku yang sekali pandang menambah cengkerama aroma persahabtan begitu cepat memangkas bersih kesedihanku atas pulangnya orangtua.