.

.
News Update :

Esensi

Saturday, December 20, 2014

Selama ini banyak sekali kegiatan organisasi yang mengungkung dalam kehidupanku. Bisa dibilang aku seorang aktivis organisasi di sekolah. Bagiku, entah dimanapun perasaan untuk menemukan arti kehidupan selalu terpancar. Terutama saat suasana hati menjadi hal yang ingin benar-benar aku capai. Bahkan saat naik motor pun, aku selalu memikirkan kehidupan ini dari sudut yang tajam, bukan sudut yang tumpul. Esensi. Itulah kata yang saya dapat. Esensi makan itu apa? Esensi bersekolah itu apa? Lalu, kehidupan begitu menyenangkan sejak saat itu. Dan kata itu justru yang saya dapat dari seorang adik tingkat yang pernah saya remehkan dalam manajemen waktunya. Ia keras kepala, kurang amanah, kurang sopan, kurang menempatkan suasana pada tempatnya. Begitulah penilaianku saat itu. Namun, dibalik tatanan yang aku lihat sampai waktu itu, aku mendengar perkataannya di sebuah forum tanpa secara langsung menikamku.
                “Esensine kui ki opo to mas?” (Esensinya seperti itu apa sih?)  Begitu adik tingkatku bertanya dengan nada yang ringan, tapi hati ini seolah tersendak.
                Ya. Penyesalan selalu datang di akhir. Jika di awal itu namanya pendaftaran. Kalimat itu sering saya dengar dari seorang guru saya. Yang menjelaskan berulang tanpa pernah bosan. Lalu sejak saat itu saya perlu berhati-hati dalam menilai seseorang. Menilai tidak hanya dari satu sisi yang nampak berlubang, namun perlu pula menilai dari titik yang justru memancarkan naluri kehidupan.
                Sejak saat itu kehidupanku mulai beranjak  dari satu tingkat ke tingkat yang lainnya. Dimana kita bisa menjadi pribadi yang menawan jika kita mampu melihat orang lebih tinggi ilmunya dari kita. Orang yang kita remehkan ternyata seringkali jauh lebih paham daripada kita. Namun, satu penyakit yang masih menghidap manusia. Yaitu Kebaikan seseorang akan tertutup dengan satu keburukan. Dan penyakit itu perlu mendapat sebuah obat. Dengan apa? Membalik susunannya.

                “Keburukan seseorang akan mampu tertutup dengan satu kebaikan.” Dan hal itu didapat dengan melihat dari sudut yang tajam.

Rotan dan sarung

                Saat kecil aku diajarkan orangtuaku untuk melakukan ibadah sholat. Dan sebagai anak kecil yang  belum mengenal kata ‘menolak’, aku mengikuti apa yang diajarkan orangtuaku. Seingatku saat itu aku berusia lima tahun. Saat adzan, ibuku menyuruh untuk melakukan sholat. Belum paham secara pasti apa arti sholat, aku melakukannya saat adzan berkumandang. Sarung yang aku kenakan pada saat itu hanya satu dan itupun sudah kumal. Karena kondisi ekonomi  waktu itu masih berstatus sederhana, saat itu tidak menjadi masalah. Orangtua selalu memberi janji jika saat tujuh tahun aku belum sholat, aku akan dipukul menggunakan rotan sebanyak rakaat yang aku tinggalkan. Ada perasaan takut yang setiap saat menlingkupi masa kecilku. Meski saat itu aku belum paham betul rotan itu bentuknya seperti apa, orangtuaku menjelaskan rotan itu seperti pemukul kasur yang digunakan untuk membersihkan debu saat dijemur. Bagiku dipukul tangan saja sudah sakit apalagi menggunakan rotan.
Aku berusia tujuh tahun dan sholatku mulai tertib. Walaupun orangtuaku selalu bilang sholatku ‘ngglodhek’. Artinya sholatku sangat cepat dan memang seperti itu kenyataannya. Namun, karena pengajaran yang diajarkan selama dua tahun begitu melekat, aku memberanikan diri untuk minta dibelikan rotan. Dan saat itu, aku sudah rela jika dipukul. Ibu baru saja pulang dari kerja. Aku berlari ke arahnya dan menyuruhku melihat apa yang tergantung di sepeda motor. Mungkin bakso, pikirku. Namun, ibuku juga bilang ‘Jangan lupa sholat’. Atau rotan? Aku tidak peduli dan langsung berlari melihatnya. Namun, ternyata itu adalah sebuah kain sarung yang selama ini aku inginkan. Aku merasa senang sekali saat itu dan semangat untuk ibadah.

Dan saat dewasa, kini aku melihat betapa banyak cara yang digunakan orangtuaku untuk mendidikku. Terutama dalam hal ibadah. Rotan dan sarung adalah dua simbol yang digunakan untuk menjadikanku anak yang taat beragama. Sebuah rasa syukur yang sangat menyejukkan hati ketika aku merasakannya sebagai nikmat. Terima kasih. Bapak. Ibu.

Nilai kebenaran

Saat itu perjalanan pulang dari acara Musyawarah Nasional sebuah Organisasi Pelajar SMA. kereta. Saat itu ada 3 kirsi. Aku duduk di dekat jendela, temanku di tengah, dan orang itu duduk di samping kiri temanku. Firasatku mulai buruk. Saat itu jam menunjukkan pukul 10 malam dan pikiranku terbawa oleh pengaruh film layaknya akan terjadi suatu kejahatan. Ia menawari rokok kepada kami namun kami menolaknya.
                Temanku justru berani memulai pembicaraan dengan orang di samping kiri itu. Lalu mereka asyik bercerita mengenai kehidupannya. Lagi-lagi aku salah. Orang itu ternyata adalah seorang yang lepas dari keluarga broken home. Ayah dan ibunya lepas dari kehidupan satu atap. Ia menceritakan kehidupannya yang membuat hati ini bergetar karena salah menduganya. Lagi-lagi penampilan memang menipu. Temanku dengan tenang menanggapinya dengan hati yang besar. Dan tanpa sepengatuhanku, ternyata temanku juga berasal dari keluarga broken home pula. Mereka banyak memilki kesamaan, bahkan pembicaraan mengarah ke hobi yang sama-sama suka bermain musik.
                “Kamu turun dimana?” ia bertanya kepada kami.
                “Jogja mas, kita habis dari Musyawarah Nasional”
                “Wah aku enggak tahu lah urusan kayak gitu. Aku dulu Cuma lulusan SMK dan sekarang aja kerja di sawit, kalian udah kuliah apa gimana?” tanyanya bersahabat.
                “Belum mas, kita masih SMA kok.  Ini acara pelajar” jawabku menjelaskan.
                “Ah orang-orang pendiam dan ganteng kayak kalian pasti ceweknya cantik. Hahaha,” candanya “Enggak mas, kita enggak pacaran. Hehehe,” jawab temanku.
                Kemudian pembicaraan berlanjut dengan menyenangkan dan orang itu turun di stasiun blora sedangkan aku masih di kereta selama empat jam setelah itu.

                Begitu banyak  orang di sekitar kita dan banyak pula sangkaan kita terhadap karakter mereka karena penampilannya. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah kebenaran dan kebesaran hati yang sebenarnya. Sejak saat itu aku sadar, bahwa nilai kebenaran itu memang kebenaran itu sendiri. Bukan dari prasangka kita. Dan bukan pula dari sekedar penampilan.

Editorial Site

Saturday, May 19, 2012

ZAMZAM-ISTIMAQOM.blogspot.com

adalah site personal milik seorang pemuda. site ini ditujukan kepada siapa saja yang tertarik belajar mengenai hakekat hidup.
Dalam site ini, akan disajikan berbagai wacana ataupun cerita yang tengah dipelajari Seorang tersebut dalam menghadapi komitmen kehidupannya. Site ini bukan sebuah kreatifitas garis formal ataupun kata-kata, demikian pula permainan.
Site ini berisi pengalaman, bacaan yang pernah dibaca, dan ilmu pemilik site.
Walaupun Sebagian isi dari site ini menyalin dari other site, namun keaslian isi site tetap terjaga. Maksudnya, saling berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan.

"Selamat datang para pengunjung, teman2 atau yang lain. Senang kalo punya temen yang sering berkunjung dan melawat -- membaca artikel ataupun sekedar mampir. Oke, gak papa. 
Buat aku, yang terpenting dari kunjungan site ini yaitu pengamalan ilmu yang udah dibaca. Yang suka inspiratif story bisa bolak-balik baca kisahnya abu nawas ato yang lain. Monggo :)
Hm.. Tapi maaf ya kalo bahasa yang aku gunain bahasa formal, soalnya aku sekalian latian jadi penulis buku. jadinya sekalian ngajari aku sendiri kalo gitu, sebut aja ni blog yang bermanfaat.  Kamudapat manfaaat, aku smakin giat. Oke :)
Biar pula jadi prospek pencerminan buat aku & kamu. Tentunya site ini masih kurang di sana-sini, jadinya kritik dan saran dari pengunjung masih dibutuhkan. Selama kritik & saran bersifat positif, aktif, dan membangun, maka kritik/saran akan dilakukan. Akhir kata,singkat aja sambutan editorial site ini, terima kasih, dan jangan lupa Follow This Site

1 episode Zamzi 's note

Tuesday, May 15, 2012


Hari yang cerah, hari yang kutunggu. Hari dimana pengalaman siap kutorehkan. Hari jadinya aku menjadi siswa smp. Dan sekolahku bukan sekolah biasa, aku akan tinggal di asrama.  Mobil yang dikemudikan ayahku mencoba masuk  ke gang sekolah baruku. Belum sempat masuk,, ada mobil lain yang hendak keluar. Dan ternyata, hal itu berulang tiga kali.
Perasaanku mulai mencekat ketika terdengar musik heroik menyambut kedatangan  siswa baru. Lagu yang belum pernah kudengar, namun aku tahu lagu ini nantinya adalah lagu kebanggannku.
Seolah buyar, kini tiba-tiba aku kehilangan jatidiri ku. Perasaanku tak menentu, hingga hatiku terbelah menjadi 2 bagian. Bagian yang satu merasa senang, namun disisi yang lain memaksaku untuk sedih. Hal itu membuatku sulit untuk  menampakkan ekspresi wajah ku. Bagaimana mungkin aku bisa senang, sedangkan aku harus berpisah dengan orang tua? Ataupun sedih padahal sekolah ini adalah sekolah yang aku harapkan?
                Tanganku menggerayang saku baju mencari sesuatu. Sesuatu. Buku kecil.  Buku ini adalah catatan masa kecilku, semacam buku diary tapi aku tak pernah mau menyebut demikian. Ini adalah buku bertuliskan pengalaman, dan buku ini tak pernah dijual di toko manapun. Karena aku membuatnya sendiri. Menghias cover dan mengumpulkan kertas-kertasnya. Di covernya ku tuliskan sebuah judul  “The little Notes,for world.’
                Pena kecil kuambil dari lubang atas buku ini. Kulihat ujung penaku bergerak. Melukiskan tinta emas.
                “Hari ini adalah hari pertama dimana aku mencampurkan perasaan senang dan sedih pada satu garis. Ayah, Ibu..restui putramu mencari ilmu.”
                Kututup kembali buku itu dan bergegas. Kali ini aku telah berada di depan aula sekolah. Kutatap wajah ayah dan ibu ku. Hati nurani ku bertindak. Menyalami orang tua adalah baktiku, dan mencari ilmu adalah kewajibanku.
                Semburat awan gelap, seolah mengetahui bagaimana perasaanku. Aku berusaha mendongak ke langit agar air mataku tak tumpah. Namun  tetap saja, Newton benar. Gravitasiku itu, membiarkan setetes air mataku membasahi bumi. Allah saksiku ketika hari ini aku berikrar. “Aku akan berusaha mewarnai sekolah ini dengan hal baik yang bisa ak u lakukan. Dan aku tak akan membawa dampak buruk.”
                Kembali, air mataku menetes untuk kedua kalinya.
                Lamunan ku berakhir ketika seorang pemuda gagah  menepuk pundakku, menyapa.
“Siswa baru ya dek?” tanyanya bershabat.
                “Iya kak, kenapa?” aku balas bertanya.
                Langsung masuk aja dek. Bentar lagi ada brieffing. Oh  iya kenalkan Khiyar Radma” sembari mengulurkan tangan.
                “Hil “ Jawabku singkat sambil menerima uluran tangannya yang begitu bersahabat.
                Kami berbincang panjang lebar. Mulai dari daerah asal, sekolah dasar, hobby, cita-cita,bahkan daerah asal orang tua tak luput dalam perbincangan. Dalam perbincangan itu, kami mendapatkan persamaan dalam capaian nilai akhir ujian nasional sekolah dasar.
                Tak sampai disitu, rasa keingintahuannya tentang aku berlanjut hingga pengalaman mengesankan. Ternyata, Kak khiyar mengatakan brieffing segera dimulai hanya basa-basi. Adakala pertemanan dimulai dari basa-basi. Aku terawa dalam hati, tak masuk akal. Tiba-tiba perbincangan kami terhent ketika Kak khiyar dipanggil pemuda seumuranku. Pemuda itu memakai celana fornmal hitam dan kemeja hijau beergaris. Kurasa aku tahu, dia juga anak baru.
                Aku mengemasi barang-barangku membawanya ke kelas untuk transit sementara. Aku berjalan menyusuri  lorong sempit sementara gang sekolah masih sekitar 30 meter.  Tepat diujung gang aku melihat spanduk besar bertulis “Membimbing sepenuh hati, agar sholeh dan berprestasi.”
                Hatiku bergetar. Baru kali ini sebuah tulisan mampu menggetarkan hatiku. Itu hanya 3,4,5 dan 6. Oh tidak, ternyata 7. 7 kata yang pernah aku lihat tetapi tidak dengan susunan seindah itu. Begitu menariknya sekolah ini dengan kredo yang tersusun rapi. Aku menarik dasi, melepasnya. Menghilangkan penat yang ada. Aku tersenyum.
Kakiku terus bergerak, namun pikiranku masih tak beringsut dari kata-kata itu. Sadar akan tak punya tujuan, aku harus balik kanan kembali ke aula sekolah . Langkahku semakin cepat ketika aku lupa jalan kembali. Bagaimana aku bisa lupa secepat ini.Tidak. Kurasa aku tadi melihat tiang listrik di depan wartel. Tapi, kenapa yang ada rumah besar ini?
Aku berlari. Gang perumahan ini seperti labirin. Hampor 3 kali aku memutari tempat pembuangan umum ini. Suara decak mikrofon masjid bergemuruh. Suara pun terdengar jelas. Bukan lantunan adzan. Namun ucapan salam, kurasa itu pengumuman orang meninggal seperti di desaku. Apa gunanya hal itu sekarang bagiku disaat aku kehilangan arah?
Aku butuh tenang. Ini baru haru pertamaku. Teringat jelas ikrar pertamaku beberapa waktu lalu. Aku akan berusaha mewarnai sekolah ini dengan hal baik yang bisa aku lakukan. Dan tak akan membawa dampak buruk. Ini kesempatanku dalam bersabar.
Lantunan mikrofon tadi belum juga berlanjut. Aku menghela nafas. Kubersihkan hatiku dan kubuka pikiranku untuk mendengar pengumuman intu.
Tak kusangka. Terdengar jelas dibalik suara orang yang mengumumkan itu, backsound lagu heroik seperti ketika aku dan orang tuaku masuk tadi. Dan ternyata, pengumuman itu untukku, siswa baru. Aku berlari menuju arah sumber suara. Beberapa gang yang tadi aku ragu untuk  melewatinya, kini telah aku lewati. Dan tidak lebih dari 20 menit aku telah sampai di depan aula sekolah untuk brieffing.
Sebelum masuk, aku menengok ke belakang. Orang tuaku masih disana. Aku mendekat. Kami berpelukan sebelum mereka mengatakan akan segera pulang. Wajah adikku yang baru lahir seminggu lalu dalam pelukan ibuku, belum terlihat gurat ketampanannya. Ia tersenyum menyeringai. Jujur saja, aku iri ketika seminggu lalu perhatian orang tuaku seolah direbutnya. Tapi pemikiranku kini bukan seperti anak sd, kini aku smp. Dan adikku pantas mendapatkannya. Perhatian orang tua. Aku balas tersenyum dan bercipika-cipiki untuknya.
Mobilku melintas. Dan terdengar suara kecil tangisan adikku. Ibuku yang dari tadi menyembunyikan kesedihannya, lekat-lekat ku ingat wajahnya. Aku kembali mendongak ke langit, namun air mata itu tetap jatuh. Ketiga kalinya. Di hari pertama menjadi siswa smp, aku telah menyumbang 3 tetes air ke dalam bumi. Ikrarku akan kutambah. “Aku tak akan mudah sedih.” Aku belari mantap ke aula.
Acara brieffing itu tak terlalu menarik. Lebih menarik ketika bercerita dengan kak Khiyar daripada acara ini. Tapi dimana kak Khiyar? Bukankah dia wakil ketua osis?
Aku tersenyum getir melihat lawakan para pengurus osis. Namun senyum teman-temanku meyakinkanku. Yang menarik dari brieffing ini adalah wajah-wajah baru, senyum baru, teman-teman baru, guru baru, dan tentu saja ilmu baru. Canda teman-temanku yang sekali pandang menambah cengkerama aroma persahabtan begitu cepat memangkas bersih kesedihanku atas pulangnya orangtua.
 

© Copyright Muhamad Zamzam Istimaqom 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.